Adsense

Sunday, September 1, 2019

KKN Di Desa Penari Bagian 1 (Versi Widya)

KKN Di Desa Penari Bagian 1 (Versi Widya)


sebegitu terkenalnya hutan ini hingga saat ini setiap kali nama hutan ini disebut seolah masih tercium aroma kemistisan dari para penghuninya.kejadian apakah yang di alami oleh mahasiswi ini? narasumber cerita ini adalah, teman nyokap gw, karena kejadianya adalah 7 tahun yg lalu

Malam ini, gw akan bercerita sebuah cerita dari seseorang, yang menurut gw spesial. kenapa? karena gw sedikit gak yakin bakal bisa menceritakan setiap detail apa yang beliau alami, sebuah cerita tentang pengalaman beliau selama KKN, di sebuah desa penari.

sebelum gw memulai semuanya. gw sedikit mau menyampaikan beberapa hal. sebelumnya, penulis tidak mendapat ijin untuk memposting cerita ini dari yang empunya cerita, karena beliau memiliki ketakutan sendiri pada beberapa hal, yang meliputi kampus, dan desa tempat KKN di adakan.

tetapi, karena penulis berpikir bahwa cerita ini memiliki banyak pelajaran yang mungkin bisa dipetik terlepas dari pengalaman sang pemilik cerita akhirnya, kami sepakat, bahwa, semua yang berhubungan dengan cerita ini, meliputi nama kampus, fakultas, Desa dan latar cerita,

akan sangat di rahasiakan. jadi buat teman-teman yang membaca cerita ini, yang mungkin tahu, atau merasa familiar dengan beberapa tempat yang meski di samarkan ini, di mohon, untuk diam saja, atau merahasiakan semuanya, karena ini sudah menjadi janji penulis dan pemilik cerita.

tahun 2009 akhir, semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan dibeberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi. dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.

Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya. "aku wes oleh nggon KKN 'e" (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon. wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap

"nang ndi?" (dimana?) "nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita) saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN

semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang. "tenang" kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.

benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah di setujui. "sopo sing gabung Nur?" (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu, "temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya"

lega sudah. batin Widya. surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu. hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.

jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orangtuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh, keika orangtua Widya bertanya kemana Projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya. "gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa gak ada tempat

-lain, kenapa harus kota B) wajah ibunya menegang. "nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso" (disana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia) namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi,-

wajah ibunya melunak. "Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh" (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi) Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.

hari pembekalan sebelum keberangkatan. Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.

Wahyu dan Anton. setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat. "Numpak opo dik kene??" (naik apa kita nanti?) kata Wahyu. "Elf mas" jawab Nur. "sampe deso'ne numpak Elf dik?" (sampai desanya naik mobil Elf dik?)

"mboten mas. berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput" (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur. mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil"

Ayu hanya menggelengkan kepala. "ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan" (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan) disinilah. cerita ini di mulai.

sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, di tambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai disana, gerimis mulai turun. lengkap sudah.

setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar. rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut. "cuk. sepedaan tah" kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh

entah disengaja atau tidak, ucapan yang di anggap biasa di kota S, di tanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat wahyu. hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.

ditengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan

khawatir bahwa yang di maksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai. di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.

Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat. kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.

ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara. suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan. apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.

dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka. sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.

"Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya. "mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.

"kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN"

pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab. "pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok" (pelosok bagaimana-

maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit) tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan. "mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak-

antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal) di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu) di situ, Widya menyadari, ada yang salah.

tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar. sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu-

rumah warga. di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.

Nur, lebih memilih untuk diam.

"ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?) "yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi) berbeda dengan Ayu,-

Nur, menatap Widya dengan ngeri. sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek"

(Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk)

mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak. "Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu" (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu-

bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong ha; yang gak masuk akal begini) Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur. saat itu, Nur mengatakanya. "Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.

"masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari'ne nang dalan mau" (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi) "Astaghfirullah" kata Widya tidak percaya. Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.

benar kata ibunya tempo hari. "Banyu semilir mlayu nang etan," (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur

Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.

Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat. mungkin Nur lebih sensitif.

memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota "J".

terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.

"Nur," kata Widya masih menenangkan "Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih" (Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman)

(kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya) Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.

keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.

"ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi" kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia, mendengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, walaupun wong deso, gak lali kuliah"

(itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah) Wahyu melanjutkan. "bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?" "bukan" kata beliau santai. "pertanian" "Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?)

"ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah" jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam. sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.

aneh. itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam. pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.

Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya. "ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok)

belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya "saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?" Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil

"ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman" terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.

"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak) pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak. "semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya"

kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu. "mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya"

tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.

tanpa terasa, hari sudah siang. Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan. namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.

keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.

setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus. Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.

kemudian, sampailah di titik paling menakutkan "Tipak talas" kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan

"kenapa tidak boleh pak?" tanya Ayu penasaran. pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya. "iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?"

(itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?) sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.

Lanjut gak?? jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita. btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu




TIPAK TALAS


Widya melihat Tipak talas seperti sebuah lorong panjang hanya saja, dindingnya adalah pepohonan besar dengan akar di sana-sini, selain medan tanahnya yang menanjak, di depan Tipak talas, ada gapura kecil, lengkap dengan kain merah dan hitam di sekelilingnya.

pak Prabu pernah bercerita, kain hitam adalah nama adat untuk sebuah penanda seperti di pemakaman, namun bukankah warna cerah lebih baik untuk menjadi sebuah penanda, sebelum Widya tahu kebenaran dari warga yang bercerita, bahwa hitam yang di maksud adalah simbol alam lain.

hitam bukan untuk yang hidup, melainkan untuk tanda bagi mereka yang sudah mati. MATI lalu, apa maksud penanda warna merah? konon, dari seluruh tempat yang di beri penanda sebuah kain di desa ini, hanya gapura ini yang di beri kain warna merah, apalagi bila bukan simbol petaka

Widya mulai melangkah naik, kakinya tidak berhenti mencari pijakan antara akar dan batu, sembari tanganya mencari sesuatu yg bisa menahan berat tubuhnya Malam sangat dingin, dingin sekali. hanya kabut di tengah kegelapan yg bisa Widya lihat, butuh perjuangan keras untuk sampai

ketika Widya sampai di puncak Tapak tilas, Widya hanya melihat satu jalan setapak, kelihatanya tidak terlalu curam, namun rupanya butuh ekstra perjuangan juga, disana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, semakin kentara, hal itu, membuat Widya merinding.

jalan setapak itu tidak terlalu besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput dan tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari sela tumbuhan dan rumput, Widya bisa melihat hutan yang benar-benar hutan, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an disekitarnya yang tidak tersentuh.

sangat mudah mengikuti Bima, karena hanya tinggal mengikuti jalan setapak, namun, setiap kali Widya berjalan, selalu saja, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak-gerak, kadang ketika Widya mencoba memandangnya, suara itu lenyap begitu saja.

Tanahnya keras, dan lembab. namun Widya terus menembus jalanan itu, semakin lama semakin dingin, dan sudah beberapa kali Widya berhenti untuk menghela nafas panjang. jalanan ini, sepeti tidak berujung, namun, bila kembali, Widya tidak akan tahu apa yang dikerjakan Bima disini.

hal yang cukup di sesali Widya hanya satu, ia hanya mengenakan sandal selop, memang, apa yang Widya lakukan malam ini, spontan karena penasaran, tanpa persiapan, tanpa teman, dan sesal itu, kian bertambah saat Widya mulai mendengar gending. ya. suara yang familiar,

nada yang dimainkan adalah kidung yang Widya dengar saat ia berada di bilik mandi, bersama Nur, sedangkan alunan gamelan yang dimainkan adalah alunan yang sama saat Widya mencuri pandang pada penari yang menari di malam dia bersama Wahyu. bukanya lari, Widya semakin menjadi-jadi

semakin jauh, suaranya semakin jelas, dan semakin jelas suaranya, semakin ramai bahwa disana, Widya tidak sendirian. namun, yang Widya temui, adalah ujung Tipak talas, yaitu, sebuah tumbuhan yang di tanam tepat di jalan setapak. tumbuhan itu, adalah tumbuhan beluntas.

tumbuhanya kecil, tapi rimbun, samping kiri kanan, sudah gak bisa di lewati, kecuali bila membawa parang, dan tentu saja butuh waktu yang lama untuk membabat semak belukar, namun, wangi tumbuhan beluntas seharusnya langu, namun yang ini, wanginya seperti aroma melati,

seperti tidak sadar, Widya sudah mengunyah daun itu, dan terus mengunyah, Widya baru sadar saat tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, dan di balik tumbuhan itu, Widya melihat jalan menurun, pantas saja, ia hanya bisa melihat ujung jalan setapak berhenti disini.

jadi, jalan menurunya di tutup oleh banyak sekali tumbuhan beluntas, saat Widya menuruninya, ia sampai harus berdarah-darah meraih tanaman beluntas yang di lilit tali puteri. di bawahnya, dia melihat Sanggar yang di ceritakan Ayu dulu, dan sanggarnya benar-benar berantakan.

ada 4 pilar kayu jati yang di pangkas segi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh terlihat seperti bangunan balai desa, namun lebih besar dengan lantai panggung. disana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu ada di bangunan ini.

saat Widya mendekatinya, meski ragu, ia merasa kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti tempat ini penuh sesak, namun, tidak ada siapapun disana, hanya dia sendiri, yang berjalan mendekati tepat ketika Widya menginjak anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap

hening sekali. keheningan itu benar-benar menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak di terima disini. namun Widya memaksa untuk tetap melihat, dan saat itu, Widya mendengar seseorang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang ia kenal. Ayu.

Widya baru mengingat sesuatu yang paling ganjil selama KKN disini, Ayu. Ayu tidak pernah sekalipun cerita apapun tentang desa ini, sesuatu yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu menentang semua yang tidak masuk akal di desa ini,

namun di malam ketika mereka berdebad mendengar suara gamelan, Ayu pasti berbohong, Ayu sebenarnya juga tahu dan mendengarnya secara langsung, Ayu lebih tahu tentang semua ini, jauh di atas yang lain, termasuk, apa yang Bima lakukan selama ini.

seperti menangkap angin, ada suara tangisanya, namun tak ada wujud dimanapun Widya mencari, tetapi, tempat sesunyi dan sesepi itu, masih terasa ramai bagi Widya, seperti ia di tatap dari berbagai sudut. Widya melihat dari jauh, di bawah sanggar, ada sebuah gubuk, berpintu.

Widya mendekatinya, namun enggan membukanya, ia mengelilingi gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar suara Bima, di ikuti suara perempuan mendesah, sangat jelas, namun Widya tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana. leher Widya perlahan semakin berat, dan berat.

saat Widya masih bersusah payah mencari cara untuk melihat, nasib baik, Widya menemukan beberapa celah kecil untuk mengintip, darisana Widya menyaksikanya langsung, Bima, sedang berendam di Sinden (Kolam) di sekitarnya, ia di kelilingi banyak sekali ular besar.

melihat itu Widya kaget, dan parahnya, Bima menatap lurus ke tempat Widya mengintip, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka tahu, ada tamu tak di undang. melihat reaksi seperti itu, Widya berbalik dan lari pergi.

saat lari itulah, suara tabuhan gong di ikuti suara kendang, terdengar lagi, suara gamelan itu, terdengar keras, lengkap dengan suara tertawa yang bersahut-sahutan, dan Widya melihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat saat tiba di tempat ini.

dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak sekali yang dilihat Widya, ada yang melotot, dari yang wajahnya separoh, sampe yang tidak punya wajah. dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka memenuhi Sanggar dan sekitarnya, Widya mulai menangis.

suara yang nyaris memenuhi telinga Widya dan hampir membuatnya gila itu tiba-tiba berhenti. Widya melihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada disana melihatnya. disana, Widya menyadari, yang menari itu Ayu,

matanya Ayu sembab, seperti sudah menangis lama, tapi gelagat ekspresi wajahnya seperti menyuruh Widya lari, lari, tanpa tahu apa yang terjadi, Widya langsung lari, melewati kerumunan yang sedang melihat Ayu menari di sanggar. Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.

sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar, setelah melihat Widya, anjing itu lari, Widya mengikuti anjing itu. Widya keluar dari jalan setapak itu, ketika subuh, terlihat dari langit yang kebiruan.

tapi rupanya, Widya salah. seorang warga desa, kaget bukan main melihat Widya, dia langsung lari sambil berteriak memanggil warga kampung. "Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya disini, anaknya sudah kembali) bingung, hampir warga berhamburan memeluk Widya.

"mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki" (kesini nak, kesini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang nanti kamu dengar) seorang ibu, memeluk Widya, di matanya ia seperti menahan nangis, Widya hanya gaguk, diam, tidak mengerti.

si ibuk menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang linglung, di jalan ramai warga desa yang mengikuti Widya, Widya mencuri dengar dari mereka yang bicara di belakang. "wes di goleki sampe Alas D********* jebule, maghrib kaet ketemu arek iki, aku wes mikir elek"

(sudah di cari sampai ujung *********** gak taunya baru ketemu maghrib anak ini, aku sudah mikir buruk) sehari semalam, Widya rupanya sudah menghilang.

ketika Widya melihat rumah penginapan mereka, Widya melihat banyak sekali orang berkumpul disana, dan saat mata mereka melihat Widya, semuanya hampir tercengang tidak habis pikir. seperti melihat hantu, lalu, terlihat dari dalam, pak Prabu keluar, wajahnya, mengeras melihat Widya

mata pak Prabu mendelik, melihat Widya. "tekan ndi ndok?" (darimana kamu nak) Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakan, si ibuk juga menenangkan pak Prabu agar tenang, sembari menggiring Widya masuk ke rumah, Widya mendengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.

saat Widya masuk dan melihat apa yang terjadi, Widya melihat ruangan itu di penuhi orang yang duduk bersila, mereka mengelilingi 2 orang yang terbujur, tubuhnya di tutup selendang, di ikat dengan tali putih, menyerupai kafan, Wahyu dan Anto menatap kaget saat Widya masuk.

"Wid, tekan ndi awakmu?" (darimana kamu Wid?) ucap Nur yang langsung memeluk Widya. "onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur) Nur menutup mulutnya, tidak tau harus memulai darimana, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, tiba-tiba terbujur kaku, matanya tidak bisa di tutup"

Widya mendekati Ayu, di sampingnya ada Bima, ia terus menerus menendang-nendang dalam posisi terikat itu, layaknya seseorang yang terserang epilepsi, matanya kosong melihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berdaya, sontak Widya ikut menjerit sebelum ada yg menenangkan

dari Pawon, mbah Buyut keluar, ia melihat Widya kemudian memanggilnya. "sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah baru saja selesai membuat kopi) mbah Buyut, duduk di kursi kayu yang ada di pawon, ia melihat Widya lama, kemudian mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"

"Pripun mbah?" (bagaimana mbah?) "yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasanya di kelilingi makhluk halus satu hutan?) Mbah Buyut masih mengaduk kopinya, memandang Widya yang tampak mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dulu)

Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, tiba-tiba rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya seperti di cekik, membuat Widya memuntahkanya, begitu banyak muntahan air liur Widya yang keluar, ia melihat mbah Buyut yang tampak mengangguk. seperti memastikan.

"koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing gak lumrah gawe menungso opo maneh bangsa demit" (temanmu, melakukan pantangan yang tidak bisa di terima manusia, apalagi bangsa halus) kata mbah Buyut sembari geleng kepala. "paham ndok" (paham nak) Widya mengangguk.

"Sinden sing di garap, iku ngunu, Sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi" (Sinden yang kamu kerjakan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang kemarin malam kamu datangi) "eroh opo iku sinden?" (tahu kegunaan Sinden?)

"mboten mbah" (tidak tahu mbah) "Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, gak popo di garap, tapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampe di gawe kelon"

(Sinden itu tempat mandinya para penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa di kerjakan, tapi, sinden yang satunya, tidak boleh di datangi, apalagi di pakai kawin)

"Widya ngerti, sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang ada di sinden itu) Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah" "nggih. betul" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, adalah anaknya Bima sama) "Ular itu mbah" mbah buyut mengangguk

"iku ngunu, mbah sing kecolongan, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo" (itu, mbah yang kecolongan, Widya cuam di jadikan pengalih perhatian, biar si mbah ngawasi kamu, tapi mbah salah, dari awal,

yang di incar sama) mbah Buyut diam lama, seperti tidak mau menyebut nama makhluk itu. " "ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lalu bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima bisa kembali?) "isok isok" kata mbah Buyut, "sampe balak'e di angkat"

"balak'e di angkat mbah" (bencananya di angkat) kata Widya, bingung. "Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di lakoni" (Bima sama Ayu sudah kelewatan, sekarang, dia harus menanggung apa yang dia perbuat) "Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)

(Ayu sekarang harus menari mengelilingi Hutan ini) "sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di setiap jengkal tanah ini) "Bima mbah?" "Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punya Sinden) "Badarawuhi mbah" Mbah buyut kaget.

"oh ngunu" (oh begitu) "wes eroh jeneng'e" (sudah tahu namanya) "Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo wilayah iki, tugas Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung tugas Badarawuhi nari"

(Badarawuhi itu salah satunya yang jaga di wilayah ini, tugasnya ya menari, jadi bangsa lelembut suka melihat tarian dari Badarawuhi, sekarang, Ayu harus menggantikanya) "Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo"

(Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berwujud ular, sekali melahirkan, bisa lahir ribuan ular) "salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi sekarang mereka harus tanggung jawab)

"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep2"

(Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang sudah tak terbendung, kutukanya, gak bisa di tolak apalagi sampai di buang, besok pagi, biar tak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak bisa kembali hidup2)

mbah buyut pergi, Nur, Wahyu dan Anton melihat Widya sendirian di pawon, duduk, sembari termenung. "Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! kebanyakan ngent*t) kaimat itu, yang mereka semua pikirkan malam itu.

meski yang di ucapkan Wahyu itu kasar, namun tidak ada yang keberatan dengan semua itu, terlebih, masalah ini sudah sampai ke pihak kampus, bahkan ke keluarga Bima dan Ayu.

pak Prabu menceritakan bahwa kronologi kejadian ini sudah tidak bisa mereka bendung, KKN yang menjadi tanggung jawab beliau, harus sampai, ke semua orang yang terlibat, meski awanya Nur mencoba memohon agar masalah ini jangan sampai keluar dulu, namun, hilangnya Widya, membuat

Pak Prabu akhirnya menyerah dan memilih melaporkanya.

lalu apa yang terjadi sama Ayu dan Bima? Pagi itu, serombongan mobil datang, mereka adalah keluarga sekaligus panitia KKN yang sudah mendengar semua ceritanya dari pak Prabu. Ayu masih terbaring, matanya melotot, namun tubuhnya masih seperti orang lumpuh. Bima, masih kejang2

well ada yang mau lihat foto mereka?

maaf maaf, Aib!! soal mobil, gw gak paham. intinya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw bakal lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang bersangkutan. di selesaiin saja malam ini, biar gw bisa fokus kerja. lagi. tapi serius pengen lihat foto mereka?

gw cuma moto dari hape, karena fotonya di cetak di art paper, dan gw cuma bisa bilang, Bima sama Ayu, cantik dan ganteng memang. karena itu gw berani gambarin fisiknya si Bima.

gw lanjut ya

sebenarnya, proses penjemputan gak semudah yang bakal gw tulis, karena pihak keluarga Bima maupun Ayu, marah besar, mereka tidak terima anaknya di bikin seperti ini. bahkan pihak kampus juga kena, karena kasusnya benar-benar hampir di bawa ke media nasional,

Widya, Nur sampai harus mohon agar Ayu dan Bima di biarkan tetap tinggal disini, yang konon kata Mbah Buyut bisa saja balaknya di ambil sewaktu waktu, namun, dari pihak keluarga Ayu dan Bima, tidak mau lagi, mereka tetap membawa Ayu dan Bima, hasilnya?

Ayu hanya bisa tidur dengan mata terbuka terus menerus, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, bahwa kadang, ia melihat mata Ayu meneteskan air mata, tapi, setiap di tanya, dia hanya diam, tak menjawab, Ayu akhirnya meninggal setelah 3 bulan di rawat. abangnya, merasa bersalah

sampai hampir mau mengamuk di desa itu, namun, pak Prabu pun sama, seharusnya sejak awal, saat Ayu memohon di ijinkan KKN disana, ia tegas menolak, alasanya, memang tempat itu tidak baik untuk di tinggali mereka yang masih bau kencur.

Bima?? bagaimana?? meninggal juga, Malam sebelum dia meninggal, Bima teriak minta tolong, tapi ketika ditanya, kenapa dan minta tolong apa? Bima berteriak ular, ular, ular, ia meninggal lebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalnya masih mau memperpanjang-

masalah ini sama pihak kampus, tapi akhirnya di cabut, dengan catatan, KKN tidak lagi di adakan di timur jawa lagi, sejak saat itu, kampus ini, hanya memperbolehkan KKN ke arah barat, tidak lagi timur, apalagi Desa yang jauh.

ada hal yang bikin gw radak susah gambarin adalah, narasumber (Widya) disamarkan, setiap beliau bercerita, beliau hanya menceritakan intinya, dan gw harus ngatur ulang ceritanya agar nyambung, terlepas dari itu, gw inget, tiap dia cerita, tanganya gugup, seperti –

tidak mau mengulang peristiwa itu. apapun itu, gw berharap cerita ini mengandung hikmah bagi kalian yang membacanya, untuk peserta KKN nya pun sebenarnya bukan 6 orang, tapi 14 orang, gw perpendek untuk mempersingkat cerita beliau yang saling berkaitan satu sama lain

untuk kesalahan, pengetikan, dan bikin kentangnya, gw mohon maaf sebesar-besarnya. memang benar, manusia itu merasa besar, padahal sesungguhnya ada kebesaran lain yang membuat manusia gak ada apa-apanya di balik kalimat kecil, dimanapun kalian berada, junjung tata krama-

saling menghormati, saling menjaga satu sama lain, dan senantiasa bersikap layaknya manusia yang beradab. gw simple_Man undur diri, untuk waktu yang tidak di tentukan. (kalau yang bersangkutan memperbolehkan post fotonya, akan gw post kok nanti) sampai jumpa. #bacahorror







Sumber:
https://twitter.com/SimpleM81378523/status/1143116541480726531


https://twitter.com/SimpleM81378523/status/1147099068583174144

No comments:

Post a Comment